ASSALAMU'ALAIKUM...SELAMAT DATANG DI BLOG MADRASAH TsANAWIYAH GUPPI PADAS NGAWI

11 Nov 2010

Berbakti Kepada Orang Tua


Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Pertanyaan 1: Sebagian orang meyakini bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah dalam segala hal, kami mengharapkan Syaikh menjelaskan tentang berbakti kepada kedua orang tua?
Jawaban 1: Berbakti kepada kedua orang tua adalah berbuat baik kepada keduanya dengan harta, badan, kedudukan dan selain hal itu. Dan bisa juga dengan ucapan, dan Allah I menjelaskan berbakti dengan ucapan:
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. al-Isra`:23)

Inilah bila ia telah tua, dan biasanya perilaku orang yang berusia lanjut tidak seperti sebelumnya, kendati demikian Allah I berfirman: maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"  maksudnya menghardik mereka ' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan berbakti itu adalah dengan perbuatan, hal itu dengan merendahkan diri di hadapan keduanya yang pantas dalam kedudukan mereka berdasarkan firman Allah I:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:"Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. al-Isra`:24)

Dan berbakti juga dengan memberikan harta, sesungguhnya kedua orang tua punya hak untuk mendapat infak, dan hak mereka dalam infak adalah hak yang terbesar, sehingga disebutkan dalam hadits:
Rasulullah e bersabda: "Engkau dan hartamu adalah untuk bapakmu."[1]
Berbakti juga dengan membantu dengan baik, maka seseorang membantu mereka sesuai kebiasaan yang berlaku hingga dengan perkataan. Dan membantu itu bisa dengan badan sesuai kebiasaan yang berlaku. Akan tetapi bila keduanya minta bantuan dalam perkara yang diharamkan maka ia tidak boleh menyetujui mereka dalam hal itu bahkan termasuk berbakti kepada mereka adalah melarang mereka dari hal itu, berdasarkan sabda Nabi e:
Rasulullah e bersabda: "Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau dizalimi.' Ada yang bertanya: 'kami menolong mereka karena dizalimi, lalu bagaimana kami menolongnya karena berbuat zalim? Beliau e bersabda: 'Engkau menghalanginya dari berbuat zalim."[2]
Maka melarang kedua orang tua dari yang haram dan tidak menyetujui  mereka termasuk berbakti dan berbuat baik kepada mereka. contohnya adalah: jika seorang bapak menyuruh anaknya membeli sesuatu yang diharamkan lalu ia enggan, maka hal itu tidak termasuk durhaka, bahkan pada hakikatnya termasuk berbakti, karena dengan perbuatannya itu ia menghalangi bapaknya dari yang diharamkan.
Syaikh Ibnu Utsaimin – Fatwa yang beliau tanda tangani.
          Pertanyaan 2: Bagaimanakah berbakti kepada kedua orang tua? Apakah boleh menunaikan umrah untuk salah seorang dari mereka sekalipun ia telah melakukannya?
Jawaban 2: Sesungguhnya berbakti kepada kedua orang tua maksudnya adalah berbuat baik kepada mereka dengan harta, kedudukan, dan manfaat secara fisik dan hukumnya adalah wajib. Dan durhaka mereka mereka termasuk dosa besar, yaitu menghalangi hak keduanya. Berbuat baik kepada mereka di masa hidup mereka sudah diketahui sebagaimana telah kami sebutkan dengan harta, kedudukan, dan fisik. Adapun setelah wafat mereka, maka berbakti kepada mereka adalah berdoa dan memohon ampun untuk mereka, melaksanakan wasiat mereka setelah wafat mereka, memuliakan teman mereka, silaturrahim yang tidak ada hubungan bagimu dengannya kecuali dengan mereka. Inilah lima perkara yang termasuk berbakti kepada kedua orang tua setelah wafat mereka. 
Adapun sedakah untuk mereka maka hukumnya boleh, akan tetapi tidak dikatan kepada anak: bersedekahlah, tetapi dikatakan: jika engkau bersedekah (untuk mereka) hukumnya boleh dan jika ia tidak bersedekah maka berdoa untuk mereka lebih utama berdasarkan hadits yang berbunyi: 
Rosulullah e bersabda: 'Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedakah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya."[3] Maka Nabi e menyebutkan doa di tempat menyebutkan tentang amal, maka ini menjadi dalil bahwa doa untuk kedua orang tua setelah wafatnya lebih utama dari pada sedekah untuk mereka, lebih utama dari pada umrah untuk mereka, lebih utama dari pada membaca al-Qur`an untuk mereka, dan lebih utama dari pada shalat untuk mereka, karena Nabi e tidak mungkin berpaling dari yang lebih utama (afdhal) kepada yang mafdhul, bahkan beliau harus menyebutkan yang lebih utama, menjelaskan bolehnya yang mafdhul, dan beliau telah menjelaskan dalam hadits ini yang lebih utama.
 Adapun menjelaskan bolehnya yang mafdhul, maka disebutkan dalam hadits Sa'ad bin 'Ubadah t saat ia meminta ijin kepada Nabi bahwa ia  bersedakah untuk ibunya maka beliau memberi ijin kepadanya.'[4] Demikian pula seorang laki-laki yang berkata: 'Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal secara mendadak dan saya melihat dia jikalau berbicara niscaya ia bersedakah, bolehkah saya bersedakah untuknya? Beliau menjawab: Ya.'[5]
Yang penting saya memberi saran kepada saudara agar memperbanyak doa untuk mereka sebagai pengganti umrah, atau sedekah, atau amal yang serupa, karena inilah yang ditunjukkan oleh Nabi e. Kendati demikian, kami tidak mengingkarinya jika bersedekah, atau umrah, atau shalat, atau membaca al-Qur`an dan menjadikan hal itu untuk kedua orang tuanya atau salah satunya. Adapun jika keduanya belum menunaikan ibadah umrah atau haji maka bisa dikatakan bahwa menunaikan fardhu untuk keduanya lebih utama dari pada doa. Wallahu a'lam.
Syaikh Muhammad al-Utsaimin – Kitab Dakwah 5/148-149.
 

[1]  Ahmad 2/204, Abu Daud 3530, Ibnu Majah 2292, dari hadits Ibnu Amar t, dan Ibnu Majah 2291 dari hadits Jabir t, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 410. 4262 dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anha. Berkata dalam Mishbah Zujaajah 3/37: ini adalah isnad yang shahih, perawinya tsiqah, dan dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Ibnu Majah 1855, 1856.
[2]  HR. al-Bukhari 2444, 6952 dari hadits Anas t,dan Muslim dengan semisalnya dalam kitab Birr 2584 dari hadits Jabir t, dan Ahmad 3/99, 201 dari hadits Anas t, dan lafadz ini adalah lafazhnya.
[3]  HR. Muslim 1631.
[4]  HR. Al-Bukhari 1834 dan Muslim 1353.
[5]  HR. Al-Bukhari 1388, 2760 dan Muslim 1004.

0 komentar:

Posting Komentar